Selasa, 24 Mei 2016

Cerbung: "Volcano; 24 jam", Bab 11

11.       Sabtu, 12.05 WIB
Yudith, sang reporter, sudah merasa di atas angin karena terbayang akan ditraktir Waskita dawet hitam depan kampus UGM. Sudah dua jam lewat lima menit, sang Bupati belum juga hadir. Walaupun belum dihadiri sang Bupati, panitia gladi bersih tetap mulai sesuai agenda. Mereka sudah mengatur tata upacara beserta petugasnya, memasang berbagai atribut dan bunga-bungaan. Tak lupa, tribun maha luas dengan beratapkan dedaunan alami dari tumbuhan menjalar sudah disiapkan beberapa bulan sebelumnya. Sungguh asri dan sejuk lokasi peresmian ini. Wajar bila besok sesudah acara peresmian ini, lokasi ini akan diubah fungsi menjadi arena bermain dan taman keluarga.
Lokasi pembangunan stadion pacuan kuda berada di sebelah timur badan gunung Merapi. Apabila berada di lokasi ini, memandang tepat ke utara akan terlihat puncak merapi secara jelas. Sedangkan apabila menyerongkan pandangan ke barat daya, seperempat dari gunung Merbabu akan kelihatan. Puncak dua  gunung seolah-olah terlihat bersebelahan sangat dekat, Merapi lebih tinggi, sedangkan Merbabu seolah-olah lebih rendah.
Tepat di sebelah barat stadion, terdapat jurang yang sangat dalam dan panjang mengarah ke selatan, sedangkan di sebelah timur jauh juga terdapat hal serupa. Stadion ini berada di antara jalur jurang mengarah ke selatan.
‘agar eksotik’, Ahmad Basuki membisiki sang Bupati kala itu.
Tepat jauh di atas stadion terdapat dinding batu beku, yang di antaranya terdapat garis-garis membujur dari atas ke bawah. Dinding itu seperti sengaja disemen, berdiri tegak dari barat sampai timur. Di atas bebatuan sudah tidak terdapat vegetasi tinggi lagi, tinggal rumputan dan beberapa perdu, sehingga menyediakan ruang untuk puncak Merapi dapat dengan jelas teramati.
 Sebagai wahana tambahan stadion, kecuali taman rekreasi keluarga, dibuatlah jembatan gantung yang melintasi jurang bagian barat, membujur dengan tali baja arah timur – barat. Mall dan villa terletak di kanan dan kiri stadion, berjajar mengarah turun ke selatan. Di tengah-tengahnya terdapat jalan yang sangat lebar dengan tetumbuhan rindang di tengah-tengahnya. Dua jalur jalan disediakan dengan devider terbuat dari bentuk-bentukan akar pohon dari semen. Panggung peresmian tepat di depan stadion, yang rencananya, ketika pita peresmian besok digunting, stadion akan terbuka dan ratusan ekor kuda-kuda puluhan juta rupiah akan dipacu oleh para joki keluar dari stadion.
Para kuli berita memasang alat peliput mereka sepanjang jalan utama ini. Yudith dan Waskita pun tak ketinggalan, ikut memarkir kendaraan dinas mereka di sebelah timur jalan. Sementara matahari mulai terik bersinar, Yudith sudah tidak tahan berlari mencari sejuknya di bawah rerimbunan pohon pinus kiri kanan jalan. Waskita tetap berada di dalam ruang kemudi mobil, sambil sesekali melongokkan kepala keluar mencari sejuknya angin yang berhembus perlahan.
Tak berapa lama kemudian, iring-iringan mobil sang Bupati melewati kendaraan mereka. Dengan sigap, mereka berdua bergegas mempersiapkan segalanya. Kamera dan mic siap dibawa lari. Dibiarkannya mobil mereka di tempatnya, sedangkan berdua mereka berjalan bergegas menuju pangung peresmian. Mobil Bupati diparkir di depan panggung dengan sembarang. Pak Bupati keluar diiringi dua ajudannya.
Sejurus kemudian Yudith terheran-heran melihat raut muka Waskita.
‘Dith, walau aku menang taruhan tidak jadi mentraktir dawet hitam ke kamu, pulang dari sini nanti kamu akan ku buat muntah dawet, minum dawet sampai kenyang! Belum pernah kulihat wajah pak Bupati seperti itu!’

Dua ekor burung gereja ikut memeriahkan acara gladi bersih itu dari atas pohon pinus. Salah satu dari mereka membawa sebutir bebijian. Sesaat kemudian, tanpa disengaja jatuhlah biji buah tersebut tepat di depan pak Bupati berjalan. Dipungutnyalah biji itu. Sejurus kemudian, sang Bupati  mengenali jenis biji buah itu. Ya, biji buah asam yang serupa dengan wajah masam, ya, sangat masam, yang sempat teramati Waskita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar