Kamis, 19 Oktober 2017

Kehidupan 9. Bermain gedebok pisang di kali


Waktu itu kami bertiga, saya dan kedua temanku. Bermain di sungai belakang rumahku. Kami bertiga membuat rakit dari gedebok pisang. Gedebok pisang kami potong memanjang 2 meteran, kemudian kami susun berjajar sebanyak tiga batang dengan dengan cara ditusuk dengan sebilah bambu. Cara mainnya, mula mula rakit kami panggul bertiga menuju hulu sungai, kurang lebih dari rumah 500 meter. Kemudian kami ceburkan dan kami naiki bertiga. Rute aliran sungainya bermacam macam, ada yang tenang, ada yang berjeram. Sampai di hilir, yang kami tentukan sendiri, kurang lebih berjarak 800 meter an. Kami angkat dan panggul kembali rakit kami, dan kami kembali ke hilir lagi, menceburkan rakit kami, dan naiki kembali, berulang ulang. Seingat saya kami bermain hampir seharian. Bayangkan berapa kali kami hilir mudik dari hulu ke hilir! Dan rakit yang kami buat juga tidak terhitung ringan, ditambah posisi basah! Tapi ya namanya anak! Sampai akhirnya kami puas, dan kemudian pulang. Yang jelas ketika pulang, perut mesti keroncongan…alias kelaparan… he he….

Kehidupan 8. Beli buku bahasa Indonesia di godean



Saya tidak ingat tepatnya kelas berapa, tapi kejadian ini pada saat saya masih SD. Waktu itu diminta guru kami pelajaran Bahasa Indonesia untuk membeli buku paket Bahasa Indonesia. Bukunya, masih saya ingat, sampul depannya ada gambar murid sekolah dasar, dalamnya kertasnya kertas buram. Nah, teman teman saya waktu itu sepakat untuk bareng bareng beli di pasar Godean, karena menurut guru kami, yang ada hanya di pasar Godean. Siang hari sepulang sekolah kami berkumpul, saya kurang ingat berapa jumlahnya, yang jelas kami ke pasar Godean bonceng boncengan sepeda, ada 2 – 3 sepeda. Saya waktu itu belum tahu pasar Godean itu di sebelah mana, tapi ada teman kami yang tahu. Dan ternyata pasar Godean letaknya jauh dari rumah kami, kurang lebih 8 km. Karena jauh dan siang hari, kami kecapaian dan kehausan. Kami belum berani jajan beli minum sebelum kami membeli buku, takut uangnya kurang. Maka kami berhenti dan istirahat di bawah pohon pinggir jalan untuk beberapa saat, kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Sampai di pasar Godean, kami berombongan beramai-ramai masuk pasar dan mencari kios buku. Dan ternyata benar, buku kami ada dijual di situ. Kami pun membelinya. Senang sekali rasanya. Dan kemudian kami beramai ramai pulang. Dapat buku Baru!

Kehidupan 7. Dibelikan sepeda mini


Waktu itu saya kelas 3 SD, tahun 1987. Banyak anak waktu itu seusia saya yang sudah bisa naik sepeda. Sepedanya macam macam, ada yang jengki, unto, bmx. Waktu itu sepeda saya jengki, pinjam sepeda kakak saya. Sangat senang bermain sepeda, bisa putar kamung rami ramai, dikasih clumpring (bagian dari pohon bambu) yang ditaruh di samping sepeda dan dijepit,  sebagian masuk  ke roda, sehingga menimbulkan suara seperti motor, ngrok…ngrok…ngrok…, sangat berisik. Ke sekolah, ada yang sudah pakai sepeda, ada yang masih jalan kaki. Saya belum pakai sepeda, karena sepeda masih dipakai kakak. Tapi tenang saja, banyak temannya. Pada suatu waktu, sore hari, saya tiba tiba diajak Ibu. Ke mana, Ibu belum mengatakannya, sampai di tengah perjalanan ketika saya diboncengkan Ibu, Ibu mengatakan kalau saya diajak membeli sepeda. Wah….senang sekali perasaan saya! Mau dibelikan sepeda! Tempat membelikannya bukan di toko sepeda, melainkan di sebuah bengkel sepeda, tidak jauh dari rumah saya. Ketika kami datang, saya melihat di etalase bengkel tersebut telah ada 1 sepeda mini, warna merah, yang nampaknya baru saja dipoles dan diperbaiki di beberapa bagian. Pak bengkel menyambut kami, dan langsung mengantarkan sepeda mini tadi kepada kami. Ibu menatapku dan bertanya apakah saya suka. Saya jawab bahwa saya suka. Setelah membayar kemudian kami bergegas pulang. Terima kasih Ibu, atas sepedanya…….

Kehidupan 6. Mumet, dikompres dengan daun dadap serep

Cinta orang tua itu sepanjang masa, tidak bisa terbalaskan. Teringat sewaktu kecil, apabila sakit panas (mumet/demam) kedua orang tua saya sangat perhatian. Ayah yang waktu itu selalu mencarikan daun dadap serep yang kemudian ditumbuk kasar, dimasukkan pada sapu tangan yang dibasahi, kemudian diikatkan di kepala saya. Sedangkan saya disuruh tiduran, sambil seluruh badan diluluri dengan tumbukan bawang merah deicampur dengan minyak tanah. Apabila diperlukan, Ibu ke warung membelikan saya bodrxyn (obat pil manis). Semanis cinta ayah dan ibuku…..uhuk…uhuk….

Kehidupan 5. Payung dibuang

Saya pernah punya pengalaman unik, tapi menyebalkan karena sungguh rendah harga diri ini gara – gara gengsi. Waktu itu pagi hari hujan turun, saatnya berangkat ke sekolah. Saya berangkat membonceng motor, saya lupa siapa yang saya boncengi. Saya bawa payung dari rumah. Pada saat saya membonceng motor, payung saya ternyata tertiup angin dan bagian atasnya menjeplak (terbalik), tidak melengkung ke bawah seperti seharusnya, tapi justru ke atas. Wah…pikiran saya jadi malu nanti kalau tiba ke sekolah. Pertama karena laki-laki kok bawa payung, kedua payungnya rusak…ha ha…jadilah payungnya saya lempar saja ke selokan. Malu saya, ha ha…. Wah, demi gengsi, padahal payungnya masih bisa diperbaiki, e….dibuang! Kayak sudah jadi horang kaya saja! …aneh aneh saja….

Kehidupan 4. Kuliah jalan kaki

Jalan kakinya hanya sejauh 2 km. Arahnya dari rumah sampai penghentian bis jurusan Jogja-Wates. Kesannya, adalah perjuangan. Kalau ditanya lelah, tidak terasa. Karena senang. Walaupun panas, kadang hujan, pulang kuliah walaupun jalan 2 km sampai rumah, rasanya sesuatu yang pantas diperjuangkan..ha ha.. Kadang juga kakak menjemput pakai motor. Tapi itu kalau memungkinkan. Kalau tidak…jalan kaki is the best!

Kehidupan 3. Roti di genuk


Masih ingat pengalaman masa kecil, ketika ibu saya selalu menyimpankan 1 roti onde onde pada suatu bejana yang ada tutupnya dari kulit kelapa (batok kelapa), nah genuk itu batok kelapa itu. Isinya hanya 1 roti, dan itu selalu setiap pagi disediakan untuk saya. Selalu. Sampai hafal semua saudaraku kebiasaan ini. Sampai menyebutku Pak Onde onde. Enak banget…

Kehidupan 2. Berbagi makan pisang


Waktu itu sudah merdeka sih, tapi sekitar tahun 1980 – an. Makanan tidak semelimpah sekarang. Saya 4 bersaudara, tapi kakak paling tua pergi merantau, tinggal saya dengan dua kakak saya yang semua perempuan. Ada suatu ketika Ibu mempunyai 1 pisang. Karena hanya 1 pisangnya sedangkan anaknya ada 3 orang, jadilah 1 pisang itu di potong potong jadi 3 dan dibagi merata dengan ke 3 anaknya. Wah…sedap…

Kehidupan 1. Ikut bapak bonceng sepeda


Rumah asli bapak Kulon Progo (kaliwiru). Sekitar 10 km dari rumah kami Sedayu. Biasanya malam minggu bapak mengajakku pergi ke rumah aslinya tersebut, yang ditinggali oleh Pak Dhe. Pergi ke Kaliwiru naik sepeda. Sepeda Onta. Saya bonceng bapak. Berangkat sore hari jam 4 sorenan. Sepanjang perjalanan yang kulihat sawah. Sawah yang ditanami padi. Karena ditanam dengan rapi, sampai garis garis membujurnya berderet deret kelihatan rapi membuatkan mengantuk. Sedangkan Bapak dengan tanpa lelah menggoes sepeda. Kadang kadang kakiku diikatkan pada sepeda agar tidak masuk roda. Perjalanan kurang lebih 30 menit, kami sudah sampai Kali Progo dan siap menyeberang. Menyeberangnya pakai perahu kecil atau biasa dinamakan gethek. Perahunya Cuma 1 dan bergantian kadang berada di seberang barat, kadang ada di seberang timur. Waktu kami tiba dan getheknya masih di sebelah barat, kami menunggunya, duduk duduk di bawah pohon jambu tamplok yang rindang. Angin semilir, bapak duduk di tanah sambil merokok dan bercelanan pendek dengan sarungnya digulung di pinggangnya. Sedangkan saya juga duduk di samping bapak, di tanah. Tak berapa lama perahu datang, kami antri memasukkan sepeda ke gethek, setelah itu cari tempat duduk. Bapak duduk di samping sepeda karena harus memeganginya. Sedangkan saya cari tempat duduk di ujung gethek karena saya senang bermain kecipakan air. Sampai tempat Pak Dhe masih sore menjelang petang. Biasanya Bapak ketika tiba di rumah Pak Dhe bukan kulonuwun, melainkan memukul kentongan yang berada di samping kandang sapi keras-keras. Lucu juga. Malam harinya, kami berkumpul rame rame di depan televisi sambil cerita cerita. Waktu itu belum banyak orang yang memiliki televisi. Pak Dhe punya. Televisi Pak Dhe menggunakan aki, karena listrik belum ada. Para tetangga sering datang. Anak anak seusisaya ikut nimbrung. Walaupun belum kenal, kami nggak masalah. Kadang kadang anak anak di lingkungan Pak Dhe menganggap kami orang hebat. Rumah Pak Dhe di gunung yang agak terpelosok. Anak anaknya ada yang tidak bersekolah. Maka ketika kami berkumpul, kadang kadang saya beri hiburan menggambar di tanah. Lantai rumah Pak Dhe masih tanah, dan agak kering berdebu. Anak anak duduknya di bawah, di lantai dengan tikar diberi alas tepang, sedangkan para orang tua duduk di atas dengan kursi papan kayu. Senang sekali, sampai sering ketiduran sampai pagi. Pulangnya kami diberi oleh oleh makanan tahu. Pekerjaan Pak Dhe menggiling tahu, di samping beternak dan bertani. Berangkat sebelum subuh, jam 4 malam. Menyusur pinggang bukit sampai ke Kali Progo kembali. Kadang kadang sepeda harus dituntun, saya mengikuti bapak dari belakang. Kadan merasa takut juga karena harus melewati kebun kebun yang gelap. Sampai di Kali Progo biasanya telah ramai para bakul tahu yang akan pergi ke pasar, juga akan menyeberang pakai gethek sama seperti kami. Bapak selalu mengenali mereka. Terus biasanya terlibat dalam percakapan. Sampai di rumah kembali masih pagi. Bapak kemudian bekerja, entah di kebun atau di sawah. Saya terus pergi main.

"Volcano; 24 Jam", Bab 16



16. Sabtu, 12.30 WIB, sumur gumuling

Siang itu, Sultan mandi. Cuaca memang sangat panas, ditambah tidak ada angin yang bertiup.
‘lebih baik mandi’, sultan bergumam.
Hari Sabtu, Sultan libur dari aktivitas pemerintahan. Sultan menjabat gubernur DIY sekaligus. Hanya, pada hari sabtu, pemerintahan libur. Sultan beristirahat di rumahnya, keraton Yogya.
Hari ini pikiran Sultan agak terganggu. Ia memilih untuk menenangkan batin. Di sumur gumuling, ia berdoa. Biasanya, dengan begitu, pikirannya akan tenang kembali. Namun hari ini lain. Ia kemudian beringsut, berjalan lewat anak tangga yang melingkar lingkar menuju ke atas, di bubungan bangunan. Di atas bubungan bangunan ini, Sultan dapat melihat pemandangan seluruh wilayah Yogyakarta. Dari pucuk gunung Merapi, sampai batas pesisir dengan laut selatan, semuanya terlihat dengan jelas. Ditambah siang itu cuaca cerah.
Sejenak Sultan berdiam diri di sana. Dirasakannya sensasi pemandangan di bawah tempat ia berdiri. Ada rasa kagum, bangga. Sekilas pikirannya melayang mundur ke waktu di mana kota Yogyakarta berawal. Dari sebuah hutan. Penuh dengan kiasan, pemikiran mendalam. Tata letak daerah. Gunung. Kota. Laut. Masyarakatnya. Sejarah perjuangannya. Sampai pada ketercapainnya pada hari ini; kota Yogyakarta yang tidak se-lengang dulu. Maliboro, jalur wisata niaga yang penuh sesak pedagang pembeli wisatawan, keraton pun sebagian telah dijadikan obyek wisata penuh sesak pelancong, kampus, mall, hotel, perumahan, belum lagi jalan jalan yang penuh dengan motor dan mobil. Sesak. Padat.
Namun alam tidak berubah. Gunung Merapi tetap di tempatnya. Pesisir laut kidul tetap di tempatnya, pegunungan menoreh tetap di tempatnya. Langit tetap di atas, tanah tetap di bawah. Namun, apakah benar demikian?
Sultan menghela nafas, beringsut kembali turun dari bubungan. Sultan menuju ke kamarnya. Dibukanya laptop. Dibukanya mesin pencari mbah Google. Ia mencari sesuatu.