16. Sabtu, 12.30 WIB, sumur
gumuling
Siang itu,
Sultan mandi. Cuaca memang sangat panas, ditambah tidak ada angin yang bertiup.
‘lebih baik
mandi’, sultan bergumam.
Hari Sabtu,
Sultan libur dari aktivitas pemerintahan. Sultan menjabat gubernur DIY
sekaligus. Hanya, pada hari sabtu, pemerintahan libur. Sultan beristirahat di
rumahnya, keraton Yogya.
Hari ini
pikiran Sultan agak terganggu. Ia memilih untuk menenangkan batin. Di sumur
gumuling, ia berdoa. Biasanya, dengan begitu, pikirannya akan tenang kembali.
Namun hari ini lain. Ia kemudian beringsut, berjalan lewat anak tangga yang
melingkar lingkar menuju ke atas, di bubungan bangunan. Di atas bubungan
bangunan ini, Sultan dapat melihat pemandangan seluruh wilayah Yogyakarta. Dari
pucuk gunung Merapi, sampai batas pesisir dengan laut selatan, semuanya
terlihat dengan jelas. Ditambah siang itu cuaca cerah.
Sejenak Sultan
berdiam diri di sana. Dirasakannya sensasi pemandangan di bawah tempat ia berdiri.
Ada rasa kagum, bangga. Sekilas pikirannya melayang mundur ke waktu di mana
kota Yogyakarta berawal. Dari sebuah hutan. Penuh dengan kiasan, pemikiran
mendalam. Tata letak daerah. Gunung. Kota. Laut. Masyarakatnya. Sejarah
perjuangannya. Sampai pada ketercapainnya pada hari ini; kota Yogyakarta yang
tidak se-lengang dulu. Maliboro, jalur wisata niaga yang penuh sesak pedagang
pembeli wisatawan, keraton pun sebagian telah dijadikan obyek wisata penuh
sesak pelancong, kampus, mall, hotel, perumahan, belum lagi jalan jalan yang
penuh dengan motor dan mobil. Sesak. Padat.
Namun alam
tidak berubah. Gunung Merapi tetap di tempatnya. Pesisir laut kidul tetap di
tempatnya, pegunungan menoreh tetap di tempatnya. Langit tetap di atas, tanah
tetap di bawah. Namun, apakah benar demikian?
Sultan
menghela nafas, beringsut kembali turun dari bubungan. Sultan menuju ke
kamarnya. Dibukanya laptop. Dibukanya mesin pencari mbah Google. Ia mencari
sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar