Kamis, 19 Oktober 2017

"Volcano; 24 Jam", Bab 16



16. Sabtu, 12.30 WIB, sumur gumuling

Siang itu, Sultan mandi. Cuaca memang sangat panas, ditambah tidak ada angin yang bertiup.
‘lebih baik mandi’, sultan bergumam.
Hari Sabtu, Sultan libur dari aktivitas pemerintahan. Sultan menjabat gubernur DIY sekaligus. Hanya, pada hari sabtu, pemerintahan libur. Sultan beristirahat di rumahnya, keraton Yogya.
Hari ini pikiran Sultan agak terganggu. Ia memilih untuk menenangkan batin. Di sumur gumuling, ia berdoa. Biasanya, dengan begitu, pikirannya akan tenang kembali. Namun hari ini lain. Ia kemudian beringsut, berjalan lewat anak tangga yang melingkar lingkar menuju ke atas, di bubungan bangunan. Di atas bubungan bangunan ini, Sultan dapat melihat pemandangan seluruh wilayah Yogyakarta. Dari pucuk gunung Merapi, sampai batas pesisir dengan laut selatan, semuanya terlihat dengan jelas. Ditambah siang itu cuaca cerah.
Sejenak Sultan berdiam diri di sana. Dirasakannya sensasi pemandangan di bawah tempat ia berdiri. Ada rasa kagum, bangga. Sekilas pikirannya melayang mundur ke waktu di mana kota Yogyakarta berawal. Dari sebuah hutan. Penuh dengan kiasan, pemikiran mendalam. Tata letak daerah. Gunung. Kota. Laut. Masyarakatnya. Sejarah perjuangannya. Sampai pada ketercapainnya pada hari ini; kota Yogyakarta yang tidak se-lengang dulu. Maliboro, jalur wisata niaga yang penuh sesak pedagang pembeli wisatawan, keraton pun sebagian telah dijadikan obyek wisata penuh sesak pelancong, kampus, mall, hotel, perumahan, belum lagi jalan jalan yang penuh dengan motor dan mobil. Sesak. Padat.
Namun alam tidak berubah. Gunung Merapi tetap di tempatnya. Pesisir laut kidul tetap di tempatnya, pegunungan menoreh tetap di tempatnya. Langit tetap di atas, tanah tetap di bawah. Namun, apakah benar demikian?
Sultan menghela nafas, beringsut kembali turun dari bubungan. Sultan menuju ke kamarnya. Dibukanya laptop. Dibukanya mesin pencari mbah Google. Ia mencari sesuatu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar