Selasa, 24 Mei 2016

Cerbung: "Volcano; 24 jam", Bab 10

10.       Sabtu, 12.00 WIB
Di dalam bus juruan Magelang – Kopeng, Bayu dan rombongan terantuk-antuk dan sesekali terdengar tawa canda riang mereka. Tidak setiap saat, pengalaman terantuk-antuk dalam bus mereka jumpai di Yogya, paling kejedut-jedut dalam bus kota yang kerap mereka alami apabila berangkat kuliah.
Pemandangan gunung, terhampar sepanjang perjalanan. Mulai dari desa dengan rumah gunungnya; beratap seng, dinding dari bahan belahan kayu pinus, sampai pohon-pohon rimbun, pohon berdaun jarum. Sesekali kabut rendah menyergap bus mereka, sehingga pak sopir harus memelankan laju bus dan menyalakan lampu kabut. Padahal tengah hari, jam 12, namun apabila masuk kabut, bisa gelap segelap jam 6 sore.
Jalanan beraspal mulus, tetapi naik turun, ini yang membuat terantuk-antuk, bukannya aspal yang bolong-bolong. Pak sopir seolah-olah tidak dibuat kerepotan oleh jalan naik-turun tersebut. Sudah biasa.
Mobil pengangkut sayuran berulang kali berpapasan di jalan. Tidak mau ketinggalan pula mobil pengangkut pupuk kandang. Kalau mobil jenis ini yang lewat, sontak rombongan memegang hidung mereka. Belum lagi kalau ada yang terbang tertiup angin dan mampir masuk ke dalam bus, bisa bau semua!
Perjalanan dari terminal Magelang ke basecamp Thekelan Kopeng memakan waktu sekitar 1 jam perjalanan. Anak-anak tidak bosan, mereka saling bercakap dan menikmati pemandangan indah di kanan kiri. Penumpang naik dan turun. Warga gunung kebanyakan berbeda dengan masyarakat perkotaan. Budaya, tutur sapa, sopan santun, mereka jaga betul. Membuat perasaan nyaman bagi orang lain. Anak-anak suka mereka. Mereka ramah.
‘mereka tidak ja’im’ kalau Nora mengatakan.
Mendekati wilayah Kopeng, pemandangan semakin indah. Suhu semakin dingin. Anak-anak cekikian di dalam bis. Dari mulut mereka keluar asap puith apabila sedang berbicara. Anak-anak menyukainya.
Akhirnya sampai. Bus semakin memelan dan berhenti di sebelah kiri, tepat di depan toko makanan dan cinderamata Kopeng. Anak-anak bergantian keluar dari pintu samping bis bagian belakang. Dibantu pak kernet, tas dan perlengkapan mereka diturunkan dari bagasi. Anak-anak dengan cekatan memungut tas dan perlengkapan mereka yang diletakkan oleh pak Kernet di lantai beton teras toko. Setelah menyandang tas karier dan menenteng perlengkapan mereka, anak-anak menghampiri toko untuk sekali lagi berbelanja perlengkapan, siapa tahu ada yang kelupaan.
‘sarung tangan, aku lupa’, Bayu memberitahu teman-temannya.
Ternyata tidak hanya Bayu, Nora membeli kupluk, Hans masih menambah perbekalan roti manisnya, Gatot membeli korek api gas 2 batang.
‘Nah, siap sudah semua. Sudah ndak ada yang ketinggalan lagi? Endah, sudah dicek semua perbekalanmu?’ tanya Bayu kepada Endah yang terlihat duduk-duduk di teras toko.
‘Ah, gampang, nanti toh kalau kurang, aku dapat minta Gatot, dan mesti buatku semua! Ya gak Tot..?’
Gatot kembali nyengir
Selesai berbelanja di toko tersebut, anak anak bersiap menuju basecamp. Basecamp Thekelan berada di desa tertinggi, desa terakhir di gunung Merbabu dari jalur Kopeng. Sebelum tiba di sana, anak-anak harus melewati hutan wisata dan camping ground, hutan pinus milik perhutani dan menanjak mendaki satu bukit yang tinggi. Di sebelah hutan ini terdapat tempat wisata dan permandian Kopeng yang terkenal.
Melewati jalan beraspal rute bis kopeng tadi, kemudian berbelok ke kanan ke arah hutan pinus dan menurun  tajam menuju sungai kecil batas hutan dan perkampungan. Terdapat jembatan kecil dari cor semen, kemudian tetap harus juga berbasah-basah menyeberangi sungai kecil lagi, baru kemudian tracking naik tajam menuju puncak bukit. Pemandangan selanjutnya adalah ladang petani beserta jalan lapang seukuran lebar mobil pick up. Anak-anak menyusurinya. Sesekali berpapasan dengan petani yang menyunggi sayuran maupun pupuk kandang. Ramah, tentu saja mereka saling menyapa. Selesai dengan ladang dan jalan tanah, mulai masuk ke perkampungan, desa terakhir dan tertinggi di gunung Merbabu. Rumah ditata rapat antara satu dengan yang lain. Tidak terlalu tinggi, beratapkan bahan seng dan genting tanah liat biasa. Ada juga yang terbuat dari daun rumputan yang dikeringkan. Jalan berupa cor semen, dan semakin tinggi berganti berupa batu gunung yang ditata rapi. Beberapa ibu-ibu tengah sibuk mencuci wortel dengan air dari selang mata air gunung, sementara anak-anak mereka bermain kejar-kejaran di tanah lapang di antara rumah mereka. Setiap bertemu dengan pendaki, mereka teriak-teriak sampil melambaikan tangan,
‘hallo mas…hallo mbak’

mereka menyapa, dan Bayu beserta teman-temannya tak ketinggalan melambaikan tangan mereka dengan semangat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar