10.
Sabtu, 12.00 WIB
Di dalam bus juruan Magelang – Kopeng, Bayu dan rombongan terantuk-antuk
dan sesekali terdengar tawa canda riang mereka. Tidak setiap saat, pengalaman
terantuk-antuk dalam bus mereka jumpai di Yogya, paling kejedut-jedut dalam bus kota yang kerap mereka alami apabila
berangkat kuliah.
Pemandangan gunung, terhampar sepanjang perjalanan. Mulai dari desa
dengan rumah gunungnya; beratap seng, dinding dari bahan belahan kayu pinus,
sampai pohon-pohon rimbun, pohon berdaun jarum. Sesekali kabut rendah menyergap
bus mereka, sehingga pak sopir harus memelankan laju bus dan menyalakan lampu
kabut. Padahal tengah hari, jam 12, namun apabila masuk kabut, bisa gelap
segelap jam 6 sore.
Jalanan beraspal mulus, tetapi naik turun, ini yang membuat
terantuk-antuk, bukannya aspal yang bolong-bolong. Pak sopir seolah-olah tidak
dibuat kerepotan oleh jalan naik-turun tersebut. Sudah biasa.
Mobil pengangkut sayuran berulang kali berpapasan di jalan. Tidak
mau ketinggalan pula mobil pengangkut pupuk kandang. Kalau mobil jenis ini yang
lewat, sontak rombongan memegang hidung mereka. Belum lagi kalau ada yang
terbang tertiup angin dan mampir masuk ke dalam bus, bisa bau semua!
Perjalanan dari terminal Magelang ke basecamp Thekelan Kopeng memakan
waktu sekitar 1 jam perjalanan. Anak-anak tidak bosan, mereka saling bercakap
dan menikmati pemandangan indah di kanan kiri. Penumpang naik dan turun. Warga
gunung kebanyakan berbeda dengan masyarakat perkotaan. Budaya, tutur sapa,
sopan santun, mereka jaga betul. Membuat perasaan nyaman bagi orang lain.
Anak-anak suka mereka. Mereka ramah.
‘mereka tidak ja’im’ kalau Nora mengatakan.
Mendekati wilayah Kopeng, pemandangan semakin indah. Suhu semakin
dingin. Anak-anak cekikian di dalam bis. Dari mulut mereka keluar asap puith
apabila sedang berbicara. Anak-anak menyukainya.
Akhirnya sampai. Bus semakin memelan dan berhenti di sebelah kiri,
tepat di depan toko makanan dan cinderamata Kopeng. Anak-anak bergantian keluar
dari pintu samping bis bagian belakang. Dibantu pak kernet, tas dan
perlengkapan mereka diturunkan dari bagasi. Anak-anak dengan cekatan memungut
tas dan perlengkapan mereka yang diletakkan oleh pak Kernet di lantai beton
teras toko. Setelah menyandang tas karier dan menenteng perlengkapan mereka,
anak-anak menghampiri toko untuk sekali lagi berbelanja perlengkapan, siapa
tahu ada yang kelupaan.
‘sarung tangan, aku lupa’, Bayu memberitahu teman-temannya.
Ternyata tidak hanya Bayu, Nora membeli kupluk, Hans masih
menambah perbekalan roti manisnya, Gatot membeli korek api gas 2 batang.
‘Nah, siap sudah semua. Sudah ndak ada yang ketinggalan lagi? Endah,
sudah dicek semua perbekalanmu?’ tanya Bayu kepada Endah yang terlihat
duduk-duduk di teras toko.
‘Ah, gampang, nanti toh kalau kurang, aku dapat minta Gatot, dan
mesti buatku semua! Ya gak Tot..?’
Gatot kembali nyengir
Selesai berbelanja di toko tersebut, anak anak bersiap menuju
basecamp. Basecamp Thekelan berada di desa tertinggi, desa terakhir di gunung
Merbabu dari jalur Kopeng. Sebelum tiba di sana, anak-anak harus melewati hutan
wisata dan camping ground, hutan pinus milik perhutani dan menanjak mendaki
satu bukit yang tinggi. Di sebelah hutan ini terdapat tempat wisata dan
permandian Kopeng yang terkenal.
Melewati jalan beraspal rute bis kopeng tadi, kemudian berbelok ke
kanan ke arah hutan pinus dan menurun
tajam menuju sungai kecil batas hutan dan perkampungan. Terdapat
jembatan kecil dari cor semen, kemudian tetap harus juga berbasah-basah
menyeberangi sungai kecil lagi, baru kemudian tracking naik tajam menuju puncak
bukit. Pemandangan selanjutnya adalah ladang petani beserta jalan lapang
seukuran lebar mobil pick up. Anak-anak menyusurinya. Sesekali berpapasan
dengan petani yang menyunggi sayuran
maupun pupuk kandang. Ramah, tentu saja mereka saling menyapa. Selesai dengan
ladang dan jalan tanah, mulai masuk ke perkampungan, desa terakhir dan
tertinggi di gunung Merbabu. Rumah ditata rapat antara satu dengan yang lain.
Tidak terlalu tinggi, beratapkan bahan seng dan genting tanah liat biasa. Ada
juga yang terbuat dari daun rumputan yang dikeringkan. Jalan berupa cor semen,
dan semakin tinggi berganti berupa batu gunung yang ditata rapi. Beberapa
ibu-ibu tengah sibuk mencuci wortel dengan air dari selang mata air gunung,
sementara anak-anak mereka bermain kejar-kejaran di tanah lapang di antara
rumah mereka. Setiap bertemu dengan pendaki, mereka teriak-teriak sampil
melambaikan tangan,
‘hallo mas…hallo mbak’
mereka
menyapa, dan Bayu beserta teman-temannya tak ketinggalan melambaikan tangan
mereka dengan semangat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar